Judul :
merekUraian Singkat :
Saya ingin bertanya, saya punya biro perjalanan yang sudah berdiri sejak 2015 katakanlah namanya Raffa Travel dan sudah didaftarkan ke DJHKI. Di biro itu ada paket wisata yang best seller yaitu 3D2N Jakarta-Bali Holiday Tour. Suatu hari ada konsumen tiba-tiba komplain kepada kami terkait paket tur best seller tadi yang katanya tidak sesuai dengan keteranagan pada brosur pada praktiknya. Setelah ditelusuri, ternyata ada biro perjalanan di kota lain yang memakai nama yang sama dengan milik saya, mereka juga menjual paket yang sama seperti best seller biro saya, dengan promosi besar besaran di paket wisata itu, tapi ternyata tidak sesuai dengan yang dicantumkan di brosur. Semua konsumen lari kesana karena menganggap bahwa itu adalah travel cabang kami padahal bukan, travel tersebut bmerupakan travel yang bura buka. Apakah saya dapat melaporkan travel tersebut? dan bagaimana cara saya untuk melaporkannya?
Jawaban
Terimakasih sudah menghubungi layanan Konsultasi HAI PENYULUH
Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, mari kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan merek. Definisi tersebut sejalan dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, menjelaskan merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016, hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Merek adalah unsur penting dalam sebuah bisnis. Merek berfungsi sebagai pembeda barang atau jasa yang diproduksi atau dijual. Namun, semakin terkenal sebuah merek, semakin berpotensi juga akan ditiru atau dibajak lalu digunakan orang lain tanpa izin atau lisensi.
Jika merek anda ditiru atau dibajak lalu digunakan orang lain tanpa izin atau lisensi, menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2006 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek), pemilik merek dapat melakukan 3 hal yaitu gugatan perdata, pengaduan pidana, atau arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
1. Penyelesaian Sengketa Perdata
Dalam Pasal 83 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis ( “UU Merek dan Indikasi Geografis”) mengatur bahwa: “Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:
- gugatan ganti rugi; dan/atau
- penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.”
Dengan demikian pemilik merek terdaftar maupun penerima lisensi merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek tersebut.
Pengajuan gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Niaga ( Pasal 83 Ayat 1 UU Merek dan Indikasi Geografis). Selain melalui Pengadilan Niaga
Menurut Pasal 83 UU Merek, pemilik merek terdaftar dapat menggugat pihak lain yang menggunakan mereknya tanpa izin (tanpa hak) di Pengadilan Niaga. Gugatan tersebut dapat berupa tuntutan ganti rugi maupun permintaan penghentian kegiatan bisnis pelanggar merek. Hal tersebut dapat dilakukan jika pelanggar merek menggunakan merek yang mirip atau sama persis untuk barang/jasa sejenis (di kelas yang sama). Selain pemilik merek terdaftar, gugatan juga dapat dilakukan oleh pemilik merek terkenal yang belum terdaftar.
Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Niaga sesuai dengan wilayah yurisdiksinya. Adapun pembagian daerah hukum Pengadilan Niaga tersebut adalah sebagai berikut : Pengadian Niaga Jakarta, Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Surabaya, Pengadilan Niaga Semarang, Pengadilan Niaga Makasar.
Selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar, pemilik Merek dan/atau penerima Lisensi (penggugat) dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk menghentikan kegiatan produksi, peredaran, dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa yang menggunakan Merek tersebut secara tanpa hak.
2. Penyelesaian Sengketa Pidana
Pemilik merek bisa menempuh jalur pidana jika mereknya dilanggar. Ketentuan pidana untuk pelanggaran merek merupakan delik aduan menurut Pasal 103 UU Merek. Artinya, pelanggaran merek tidak akan akan ditindak oleh penegak hukum tanpa aduan dari pemilik merek.
Menurut Pasal 100 UU Merek, pelanggaran merek yang sama persis dan berjenis sama dapat dipenjara maksimal 5 tahun serta denda maksimal 2 Milyar Rupiah. Sedangkan untuk pelanggar merek yang barangnya mirip diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun serta denda maksimal 2 Milyar Rupiah.
Bahkan terdapat ancaman pidana yang lebih berat bagi pelanggar merek yang barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, lingkungan hingga kematian. Pelanggar merek tersebut akan bisa dipidana penjara selama 10 tahun (maksimal) dan denda sampai 5 Milyar Rupiah.
Tidak hanya bagi produsen, ancaman pidana juga untuk penjual merek tiruan. Khusus penjual merek hasil tiruan, baik berupa barang maupun jasa, dapat dipidana kurungan maksimal 1 tahun atau denda sampai 200 Juta Rupiah. Ketentuan tersebut sesuai Pasal 102 UU Merek.
3. Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa
Selain menempuh jalur hukum, baik perdata maupun pidana, gugatan merek dapat juga diselesaikan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 93 UU Merek dan Indikasi Geografis).
Terkait arbitrase tidak dijelaskan lebih detail dalam UU Merek dan Indikasi Geografis, tetapi dalam undang-undang tersebut hanya dijelaskan mengenai pengertian alternatif penyelesaian sengketa yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan cara lain yang dipilih oleh para pihak.
Pada dasarnya, arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa merujuk kepada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Jadi, pemilihan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa didasarkan kepada suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Perjanjian Arbitrase ini dapat dibuat sebelum sengketa terjadi (arbitration clause ) atau dibuat seteleah sengketa terjadi (submission clause).
Saat ini, terdapat badan khusus yang menangani alternatif penyelesaian sengketa dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (“HKI”) yakni Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (“BAM HKI”). Pada dasarnya, BAM HKI adalah lembaga penyelesaian sengketa swasta yang membantu para pihak menyelesaikan sengketa di bidang HKI. BAM HKI juga dapat ditunjuk sebagai mediator untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketanya.
demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat